Selasa, 28 Desember 2010

perpajakan di indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dewasa ini hampir seluruh Negara di dunia telah mengakui bahwa pajak dari waktu ke waktu telah menjadi sumber utama penerimaan Negara, dan bahwa pajak adalah alat utama untuk membiayai kegiatan pemerintah. Disamping itu, pajak sebagai bagian utama dari kebijakan fskal (fiscal policy), telah dijadikan pemerintah sebagai alat mencapai tujuan – tujuan di bidang ekonomi, budaya dan social. Maka tidak mengherankan, kalau di hamper semua Negara terdapat pungutan yang namanya pajak.

Penerimaan pajak memberikan kontribusi yang cukup signifikan, yaitu hampir 70% terhadap anggaran pendapatan belanja negara bagi pemerintah kita, dalam kurun waktu selama ini pajak menjadi primadona bagi kelanjutan pembangunan pemerintah Indonesia.

Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaran di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan/penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Direktorat Jenderal Pajak berusaha sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Pajak

Setiap ahli pajak mendefinisikan pajak secara berbada. Antara lain definisi pajak yaitu :

Menurut Prof. Dr. Rochmat Sumitro, SH. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Menurut C.F. Bastable, pajak adalah : a compulsory contribution of the wealth of a person or body of persons for the service of public powers.

Menurut H.C. Adams, (1851 - 1921) seorang ekonom dan filsuf nbangsa Amerika merumuskan pajak sebagai : a contribution from the citizen to support of the state.

Menurut Edwin Robert Anderson Seligman, (1861 - 1939), seorang ekonom, guru besar, pendiri dan presiden pertama dari American Economic Association, merumuskan pajak sebagai : a tax is a compulsory contribution from the person to the government to defray the expenses incurred in the common interesy of all without reference to special benefit conferred.

Menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani merumuskan pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan dengan tidak mendapat prstasi kembali, yang langsung dapat di tunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Pajak adalah sebagian harta kekayaan rakyat (swasta) yang, berdasarkan undang – undang, wajib diberikan oleh rakyat kepada Negara tanpa mendapat kontra prestasi secara individual dan langsung dari Negara, serta bukan merupakan penalty, yang berfungsi

a. Sebagai dana untuk penyelenggaraan Negara, dan sisanya, jika ada, digunakan untuk pembangunan, serta

b. Sebagai instrument/alat untuk mengatur kehidupan social ekonomi masyarakat

Lalu pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Sumitro, SH. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Pajak itu sendiri adalah berupa iuran masyrakat kepada kas negara yang bersifat memaksa tanpa imbalan sedikitpun yang diatur oleh UU. Lembaga pemerintah yang mengatur dan mengelola perpajakan di Indonesia yaitu Direktorat Jendral Pajak (DJP) yang bernaung pada Departeman Keuangan Republik Indonesia.

Dengan demikian, ciri – ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut :

· Pajak dipungut berdasarkan undang – undang.

· Jasa timbale tidak dapat ditunjukkan secara langsung.

· Pajak dipungut oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

· Pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintahan.

· Dapat dipaksakan (bersifat yuridis).

Pungutan lainnya yang juga disebut sebagai pajak, dalam hal ini pajak ekspor adalah pungutan yang dikenakan pemerintah terhadap komoditas ekspor tertentu untuk mengatur harga atau untuk melindungi perdagangan dalam negeri. Misalnya pajak ekspor untuk kayu gelondingan dan pajak utuk CPO (Crude Palm Oil)

Pungutan lainnya yang pernah di pungut di pemerintah pusat tetapi tidak termasuk dalam pengertianpajak adalah CESS dan ADO. CESS adalah pungutan yang dikenakan terhadap hasil – hasil pertanian dan peternakan. Pungutan ini dikenakan atas penjualan produk – produk antara pulau di dalam negeri. Penjualan ke luar negeri tidak dikenakan CESS. ADO atau Alokasi Devisa Otomatis adalah pungutan yang seolah – olah menjadi sumbangan daerah ke pemerintah pusat.

2.2 Ciri-Ciri Pajak

  1. Pajak dipungut berdasarkan dengan undang-undang

Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.

  1. Tidak ada jasa timbal balik

Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.

  1. Pemungutan pajak dapat dipaksakan

Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.

  1. Pemungutan pajak semata-mata untuk pembiayaan-pembiayaan

Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

2.3. Fungsi Pajak

Adapun fungsi – fungsi pajak sebagai berikut

  1. Fungsi anggaran (budgetair)

Pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, untuk melaksanakan pembangunan negara membutuhkan biaya, nah biayanya itu dari penerimaan pajak yang kita bayarkan kepada DJP. Tapi kini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja negara, belanja pegawai, pemeliharaan, dan dsb. Untuk pembangunan uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pembiayaan rutin.

  1. Fungsi mengatur (regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonmi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak dapat dimanfaatkan sebagai alat pencapaian tujuan, Contohnya pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk non domestik dalam rangka melindungi produksi domestik, serta diberikan berbagai fasilitas keringanan pajak.

  1. Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien.

  1. Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan.

2.4. Asas Pemungutan Pajak

  1. Asas Sumber

Asas sumber adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak tergantung pada adanya sumber penghasilan di suatu Negara. Jika di suatu Negara terdapat suatu sumber penghasilan, Negara tersebut berhak memungut pajak tanpa melihat wajib pajak itu bertempat tinggal.

  1. Asas Domisili

Asas domisili adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang tergantung pada tempat tinggal (domisili) wajib pajak di suatu Negara.

Negara di tempat wajib pajak itu bertempat tinggal, Negara itulah yang berhak mengenakan pajak atas segala penghasilan yang diperoleh dari manapun.

  1. Asas Nasional

Asas nasional adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang dihubungkan dengan kebangsaan dari suatu Negara.

Cacatan :

Untuk menghindari seorang wajib pajak dikenakan pajak dari berbagai Negara yang menganut salah satu dari ketiga asas tersebut, maka diadakan suatu perjanjian perpajakan (tax treaty)

2.5. Landasan Hukum Pemungutan Pajak

Berikut landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia.

  1. Dasar Hukum

Undang – Undang Dasar 1945, Pasal 23, ayat (2): Segala untuk keperluan negara berdasarkan undang – undang.

  1. Landasan Undang – Undang Perpajakan Nasional

· Undang – Undang No.6, Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan.

· Undang – Undang No.7, Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

· Undang – Undang No.8, Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

· Undang – Undang No.12, Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

· Undang – Undang No.13, Tahun 1985 tentang Bea Materai.

2.6. Sistematika Hukum Pajak

2.6.1. Hukum Pajak Material

Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat peraturan – peraturan tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak serta sanksi – sanksi perpajakan.

2.6.2. Hukum Pajak Formal

Hukum pajak formal adalah hukum pajak yang memuat peraturan – peraturan tentang cara – cara pelaksanaan hukum pajak material tersebut, misalnya tentang cara penetapan utang pajak, kewajiban para wajib oajak, bagaimana prosedur dalam pemungutan pajak, dan sebagainya.

Hukum pajak formal memberi jaminan bahwa hukum pajak material akan dapat diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang ada.

2.6.3. Hukum Pajak termasuk Hukum Publik

Hukum pajak memuat peraturan – peraturan tentang wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali melalui kas Negara. Dengan demikian, hukum pajak mengatur hubungan hukum antar Negara dan wajib pajak sehingga bagian dari Hukum Publik.

2.7. Pembagian Pajak

  1. Pajak Pusat dan Pajak Daerah

Pajak pusat atau pajak Negara adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak) dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin Negara dan pembangunan (APBN).

Contoh : PPh, PPN/PPn.BM, PBB, Bea Materai.

Pajak Daerah adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah (baik pemerintah tingkat I, maupun pemerintah tingkat II) dan hasil diprgunakan untuk mebiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah (APBD).

Contoh : Pajak Pembangunan I, Pajak Reklame, Pajak Bangsa Asing (PBA), Pajak Kendaraan Bermotor.

  1. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung

Pajak langsung adalah pajak yang dipikul sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan dan dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dipungut secara (periodik)

Contoh : PPh, PBB

Pajak tidak langsung adalah pajak yang dipungut jika ada pristiwa, perbatan tertentu dan pembayar pajak dapat melimpahkan beban pajaknya kepada pihak lain.

Contoh : PPn dan PPn.BM, Bea Materai

  1. Pajak Subjektif dan Pajak Obyektif

Pajak subjektif adalah pajak yang pengenaannyapertama – tama memperhatikan pribadi wajib pajak (subjek), kemudian menetapkan objek pajaknya. Keadaan pribadi wajib pajak (gaya pikulnya) sangat mempengaruhi besarnya jumlah pajak yang terutang.

Contoh : PPh

Pajak objektif adalah pajak yang pengenaannya pertama – tama memperhatikan kepada objeknya, yaituberupa benda, keadaan, perbuatan, peristiwa, yang menyebabkan utang pajak, kemudian ditetapkan subjeknya, tanpa mempersoalkan apakah subjek tersebut bertempat tinggal di Indonesia atau tidak.

Contoh : PPN dan PPn.BM, PBB

2.8. Jenis Wajib Pajak

Ada beberapa kriteria atau jenis – jenis wajib pajak, antara lain :

1. Wajib Pajak Orang Pribadi

2. Wajib Pajak Badan

3. Wajib Pajak Bendaharawan

a. Wajib Pajak Orang Pribadi

Wajib Pajak

Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

Pengusaha

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

Kewajiban Wajib Pajak

Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya.

Pendaftaran

Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Wajib Pajak Orang

Pribadi yang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah :

1. Orang Pribadi yang menjalakan usaha atau pekerjaan bebas.

2. Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.

3. Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

4. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.

Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi. Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id. Selain mendapatkan NPWP, Wajib Pajak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan kepadanya akan diberikan Nomor Pengkuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).

Pembayaran dan Pelaporan

Setelah melakukan pendaftaran dan mendapatkan NPWP, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung dan membayar pajak, yang selanjutnya melaporkan pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).

Batas waktu pembayaran dan pelaporan SPT masa dan SPT tahunan adalah sebagai berikut :

No.

Jenis SPT

Batas Waktu Pembayaran

Batas Waktu Pelaporan

Masa

1

PPh Pasal 21/26

Tgl 10 bulan berikut setelah masa pajak berakhir

20 hari setelah masa pajak berakhir

2

PPh Pasal 25

Tgl 15 bulan berikut setelah masa pajak berakhir

20 setelah masa pajak berakhir

Tahunan

1

PPh OP

Tgl 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak

Akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak

2

PBB

6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT

-

3

BPHTB

Dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

-

Apabila dalam menghitung dan membayar pajak tersebut ditemukan ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal berdasarkan hasil pemeriksaan yang tidak dilaporkan oleh WP, Direktorat Jenderal Pajak akan menebitkan Surat Ketetapan Pajak (skp) kepada WP tersebut.

Hak Wajib Pajak

Wajib pajak selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak untuk mendapatkan kerahasiaan atas seluruh informasi yang telah disampaikan pada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan.

Berkaitan dengan pembayaran pajak terutang, Wajib Pajak berhak memperoleh :

1. Pengangsuran pembayaran, apabila wajib pajak mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu untuk membayar pajak sekaligus.

2. Pengurangan PPh Pasal 25, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan keuangan dikarenakan usahanya mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar angsuran yang sudah ditetapkan sebelumnya.

3. Pengurangan PBB, pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak.

4. Pembebasan Pajak, apabila wajib pajak mengalami musibah dikarenakan force mayeur seperti bencana alam. Dalam hal ini DJP akan mengeluarkan suatu kebijakan.

5. Pajak ditanggung pemerintah Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.

6. Insentif Perpajakan, untuk merangsang investasi

7. Penundaan pelaporan SPT Tahunan, Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, Wajib Paja berhak mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 6 (enam) bulan.

8. Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak), apabila wajib pajak merasa bahwa jumlah pajak atau kredit pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.

9. Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan ke DJP. Apabila dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga,

10. Banding, Apabila hasil proses keberatan dirasa masih belum memuaskan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

11. Peninjauan Kembali, Apabila Wajib Pajak tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.

b. Wajib Pajak Badan

Wajib Pajak

Wajib pajak (WP) adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

Pengusaha

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Kewajiban Wajib Pajak

Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya.

Pendaftaran

Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan mengisi Formulir pendaftaran dan melampirkan Persyaratan Administrasi Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak dapat pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id Selain mendapatkan NPWP, Wajib Pajak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan kepadanya akan diberikan Nomor Pengkuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)

Pembayaran dan Pelaporan

Setelah melakukan pendaftaran dan mendapatkan NPWP, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung dan membayar pajak, yang selanjutnya melaporkan pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan SPT .

Batas waktu pembayaran dan pelaporan SPT masa dan SPT tahunan adalah sebagai berikut :

No.

Jenis SPT

Batas Waktu Pembayaran

Batas Waktu Pelaporan

Masa

1

PPh Pasal 23/26

Tgl 10 bulan berikut

Tgl 20 bulan berikut

2

PPh Pasal 25

Tgl 15 bulan berikut

Tgl 20 bulan berikut

3

PPh dan PPnBM-PKP

Tgl 15 bulan berikut

Tgl 20 bulan berikut

Tahunan

1

PPh-Badan

Tgl 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak

Akhir bulan keempat setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak

2

PBB

6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT

-

3

BPHTB

Dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

-

Apabila dalam menghitung dan membayar pajak tersebut ditemukan ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal berdasarkan hasil pemeriksaan yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak akan menebitkan Surat Ketetapan Pajak (skp) kepada Wajib Pajak tersebut.

Hak Wajib Pajak

Wajib pajak selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak untuk mendapatkan kerahasiaan atas seluruh informasi yang telah disampaikan pada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Berkaitan dengan pembayaran pajak terutang, Wajib Pajak berhak memperoleh :

1. Pengangsuran pembayaran, apabila wajib pajak mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu untuk membayar pajak sekaligus.

2. Pengurangan PPh Pasal 25, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan keuangan dikarenakan usahanya mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar angsuran yang sudah ditetapkan sebelumnya.

3. Pengurangan PBB, pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak.

4. Pembebasan Pajak, apabila wajib pajak mengalami musibah dikarenakan force mayeur seperti bencana alam. Dalam hal ini DJP akan mengeluarkan suatu kebijakan.

5. Pajak ditanggung pemerintah, Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah

6. Insentif Perpajakan, untuk merangsang investasi

7. Penundaan pelaporan SPT Tahunan, Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 6 (enam) bulan.

8. Restitusi, pengembalian kelebihan pembayaran pajak), apabila wajib pajak merasa bahwa jumlah pajak atau kredit pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.

9. Keberatan Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan ke DJP. Apabila dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga,

10. Banding, Apabila hasil proses keberatan dirasa masih belum memuaskan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

11. Peninjauan Kembali, Apabila Wajib Pajak tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan Tindakan Penagihan pajak, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.

c. Wajib Pajak Bendaharawan

Bendaharawan Pemerintah

Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah, Lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Luar Negeri, yang membayar gaji, upah, tunjangan, hororarium dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.

Kewajiban Wajib Pajak

Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya.

a. Pendaftaran

Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi. Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak dapat pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id.

b. Pembayaran dan Pelaporan

Setelah melakukan pendaftaran dan mendapatkan NPWP, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung dan membayar pajak, yang selanjutnya melaporkan pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).

Batas waktu pembayaran dan pelaporan SPT masa dan SPT tahunan adalah sebagai berikut :

No.

Jenis SPT

Batas Waktu Pembayaran

Batas Waktu Pelaporan

Masa

1

PPh Pasal 21/26

Tgl 10 bulan berikut

Tgl 20 bulan berikut

2

PPh Pasal 22, PPN&PPn BM oleh Bea Cukai

1 hari setelah dipungut

7 hari setelah pembayaran

3

PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah

Pada hari yang sama saat penyerahan barang

Tgl 14 bulan berikut

4

PPh Pasal 22 Pertamina

Sebelum Delivery Order dibayar


5

PPh Pasal 22 Pemungut Tertentu

Tgl 10 bulan berikut

Tgl 20 bulan berikut

6

PPN dan PPn BM Bendaharawan

Tgl 17 bulan berikut

Tgl 14 bulan berikut

Tahunan

1

PPh Pasal 21

Tgl 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak

Akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak

2

PBB

6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT

-

3

BPHTB

Dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

-

Hak Wajib Pajak

Wajib pajak selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak untuk mendapatkan kerahasiaan atas seluruh informasi yang telah disampaikan pada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Berkaitan dengan pembayaran pajak terutang, Wajib Pajak berhak memperoleh :

1. Pengangsuran pembayaran, apabila wajib pajak mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu untuk membayar pajak sekaligus.

2. Pengurangan PPh Pasal 25, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan keuangan dikarenakan usahanya mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar angsuran yang sudah ditetapkan sebelumnya.

3. Pengurangan PBB, pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak.

4. Pembebasan Pajak, apabila wajib pajak mengalami musibah dikarenakan force mayeur seperti bencana alam. Dalam hal ini DJP akan mengeluarkan suatu kebijakan.

5. Pajak ditanggung pemerintah, Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.

6. Insentif Perpajakan, untuk merangsang investasi

7. Penundaan pelaporan SPT Tahunan, Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, Wajib Paja berhak mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 6 (enam) bulan.

8. Restitusi pengembalian kelebihan pembayaran pajak), apabila wajib pajak merasa bahwa jumlah pajak atau kredit pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.

9. Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan ke DJP. Apabila dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga.

10. Banding, Apabila hasil proses keberatan dirasa masih belum memuaskan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

11. Peninjauan Kembali, Apabila Wajib Pajak tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.

2.9. Jenis Pajak

Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

a. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.

c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :

a.

Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau

b.

Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau

c.

Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau

d.

Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau

e.

Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

d. Bea Materai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

e. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

f. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

Pajak Propinsi

a.

Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

b.

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

c.

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;

d.

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Pajak Kabupaten / Kota

a.

Pajak Hotel;

b.

Pajak Restoran;

c.

Pajak Hiburan;

d.

Pajak Reklame;

e.

Pajak Penerangan Jalan;

f.

Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;

g.

Pajak Parkir.

2.10. Tarif & PTKP

Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000,-

5%

Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,-

15%

Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,-

25%

Diatas Rp. 500.000.000,-

30%



Tarif Deviden

10%

Tidak memiliki NPWP (Untuk PPh Pasal 21)

20% lebih tinggi dari yang seharusnya

Tidak mempunyai NPWP untuk yang dipungut /potong(Untuk PPh Pasal 23)

100% lebih tinggi dari yang seharusnya

Pembayaran Fiskal untuk yang punya NPWP

Gratis

Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap

Tahun

Tarif Pajak

2009

28%

2010 dan selanjutnya

25%

PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek

5% lebih rendah dari yang seharusnya

Peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000

Pengurangan 50% dari yang seharusnya



Penghasilan Tidak Kena Pajak

No

Keterangan

Setahun

1.

Diri Wajib Pajak Orang Pribadi

Rp. 15.840.000,-

2.

Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin

Rp. 1.320.000,-

3.

Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.

Rp. 15.840.000,-

4.

Tambahan untuk setiap anggota keturunan sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang diatnggung sepenuhnya , maksimal 3 orang untuk setiap keluarga

Rp. 1.320.000,-

Tambahan tarif Lainnya

Tarif Pajak yang dikenakan atas objek pajak (PBB) adalah = 0,5%

Tarif Pajak yang dikenakan atas BPHTB adalah = 5

Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah = 10 %

Dengan Peraturan Pemerintah menjadi paling rendah = 5 %

Dengan Peraturan Pemerintah menjadi paling tinggi = 15 %

Atas ekspor barang kena pajak = 0 %

Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah

Paling rendah = 10 %

Paling tinggi = 200 %

Atas ekspor barang kena pajak = 0 %

Prosedur Administrasi Perpajakan

1. Surat Pemberitahuan (SPT)

2. Surat Ketetapan Pajak (SKP)

3. Restitusi

4. Banding

5. Keberatan

6. Peninjauan Kembali

7. Pemeriksaan

8. Tindakan Penagihan

Pendekatan Pajak

1. Ada 4 segi pendekatan dalam mempelajari pajak yaitu :
segi ekonomi (berhubungan dengan penghasilan, pola konsumsi, harga pokok, permintaan, penawaran, dll)

2. Segi pembangunan (berhubungan dengan adanya tabungan pemerintahan untuk pembangunan dari pembayaran pajak, fiscal policy).

3. Segi penerapan praktis (berhubungan dengan siapa yang dikenakan pajak, apa yang dikenakan pajak, berapa besarnya, bagaimana mengenakan, dsb).

4. Segi hukum (berhubungan dengan perikatan, hak dan kewajiban dengan perikatan, hak dan kewajiban, subyek pajak dalam hubungannya dengan subyek hukum, utang pajak, pengenaan sanksi perpajakan, penagihan pajak, dsb).

BAB III

PENUTUP

Saat negara membutuhkan pajak untuk melanjutkan pembangunan, kesadaran dan kepatuhan seluruh masyarakat untuk membayar pajak tampaknya sudah harus segera diwujudkan. Siapa pun tentu tidak ingin dikatakan sebagai penumpang gelap (free rider) karena tidak mau bayar pajak. Begitu juga, orang tidak mau dikatakan sebagai pengemplang pajak karena membayar pajak tidak benar.

Membayar pajak bagi seseorang adalah satu beban yang tidak bisa dihindari. Sejarah mencatat tidak ada satu orang pun yang rela membayar pajak. Na-mun, membayar pajak adalah satu keharusan/kewajiban yang melekat pada setiap orang yang sudah berpenghasilan. Bahkan untuk jenis pajak pertambahan nilai (PPN), akan terkena pada setiap orang sekalipun tidak berpenghasilan.

Kalau pajak tidak bisa dihindarkan lagi dalam kehidupan setiap orang, masyarakat harus menyikapinya dengan benar. Hindarkan cara berpikir untuk menghindari pajak atau mengemplang pajak. Bisa dikatakan bahwa para pengemplang pajak adalah kelompok orang yang tidak mencintai negeri ini. Bahkan pengemplang pajak bisa disebut telah menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat.

Sebagai gambaran, penduduk miskin masih cukup banyak di negeri ini. Tahun 2000 misalnya ada sebanyak 38,7 juta dan pada 2005 turun menjadi 35,10 juta. Namun, pada 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi 39,30 juta. Lalu pada Maret 2007, masih sekitar 37,17 juta.

Tahun 2009 ini, penduduk miskin masih berada pada angka 34 juta. Artinya, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak kurang lebih 230 juta, sekitar 14,78% nya adalah jumlah penduduk miskin. Lalu pertanyaannya, apa hubungannya penduduk miskin dengan pengemplang pajak?

Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara, dan itu telah menjadi kesepakatan bersa ma. Bahkan pajak saat ini menjadi satu-satunya sumber penerimaan terbesar pembangunan bangsa, untuk kesejahteraan, bangsa.

Seandainya negeri ini tidak ada pengemplang pajak, secara tidak langsung mau tidak mau kesejahteraan masyarakat miskin akan meningkat, atau jumlah penduduk miskin akanberkurang.

Sekarang ini belum ada instrumen lain selain pajak yang bisa menjadikan penduduk miskin berkurang. Bahkan Pasal 34 Ayat (1) UUD 45 secara tegas menye-. butkan bahwa negara wajib melindungi fakir miskin dan orang telantar. Nah, untuk melindungifakir miskin dan anak telantar supaya mereka bisa hidup lebih baik, mereka harus sekolah serta mendapat makan atau pekerjaan yang baik.

Secara sadar sebenarnya para pengemplang pajak sudah menggerogoti atau menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat. Bahkan secara ekstrem, pengemplang pajak punya andil dalam memiskinkan masyarakat. Penambahan jumlah penduduk miskin juga bisa dikatakan seakan diciptakan oleh pengemplang pajak. Kalau begitu, para pengemplang pajak harus disadarkan.

Dalam konteks hidup bermasyarakat, pengemplang pajak se-benarnya tidak layak untuk tinggal bersama. Mereka bisa digolongkan penduduk gelap yang hanya ingin menikmati fasilitas umum negara, tetapi tidak mau turut berkontribusi dalam membayar pajak.

Pengemplang pajak harus menyadari bahwa penghasilan yangdiperolehnya bisa terwujud karena adanya fasilitas umum yang disediakan negara. Jika tidak demikian, setiap orang tidak akan mampu menyediakan fasilitas umum untuk kebutuhan atau keperluannya sendiri-sendiri

Kesadaran dan kepatuhan sudah saatnya ter-intemalized dalam diri setiap orang (wajib pajak). Bila itu terjadi, keyakinan terhapusnya kemiskinan di negeri ini pasti terjadi. Instrumen pajak menjadi hal sangat penting untuk disadari. Pengemplang pajak yang terus-menerus melakukan pembayaran pajak tidak benar, harus ditindak bila benar terbukti bersalah.

Tindakan hukum berupa pemeriksaan, penyidikan, dan penyanderaan merupakan instrumen lain dari hukum pajak yang bisa digunakan untuk menindak pengemplang pajak.

Undang-Undang pajak memberikan kesempatan bagi Wajib pajak untuk memperbaiki laporan SPT (surat pemberitahuan tahunan) yang tidak benar. Jika masa perbaikan SPT ndak digunakan, adalah wajar jika negara menuntut mereka untuk mematuhi UU pajak. Masa pengampunan pajak yang dikenal dengan nama sunset policy yang berakhir tahun 2008 lalu, menjadi poin untuk melakukan kajian lebih lanjut. Pengemplang pajak hams bersiap-siap jika penegakan hukum (law enforcement) segera berjalan untuk itu. Mencari dan menyadarkan pengemplang pajak menjadi poin khusus bagi jajaran pegawai Ditjen Pajak untuk menindak para pengemplang pajak.

DAFTAR PUSTAKA

1. C.F. Bastable, Public Finance, London, edisi ke -3, 1993, hlm. 263.

2. Drs. Muda Markus 2005, Perpajakan Indonesia Suatu Pengantar, Gramedia, Jakarta.

3. Edwin R.A. Seligman, Essays on taxation, New York, edisi 10, 1925, hlm 432.

4. Google.com

5. H.C. Adams, The Science of Finance, New York 1898, hlm 302

6. Marsyahrul, Tony 2005, Pengantar Perpajakan, Grasindo, Jakarta.

7. Pajak.co.id

8. Pajakmudah.blogspot.com

9. Sugianto, SH., M.M., Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta. 2007.